Hari ini datang dua orang mahasiswa melakukan observasi di
sekolah.
Saya yang baru saja menyelesaikan pendidikan S1 mengingat
kembali proses perkuliahan dulu.
Mahasiswa jurusan pendidikan beberapa kali diberi tugas
untuk mengamati langsung lingkungan sekolah atau observasi dengan cara yang
lain (seperti wawancara dengan guru atau siswa bersangkutan).
Yang biasanya kami lakukan adalah melakukan pengamatan
lingkungan sekolah, kemudian kami bahas plus-minus nya di kelas, bersama teman
sekelas dan dosen.
Kami menemukan permasalahan-permasalahan yang perlu
dicarikan solusi. Terkadang selama diskusi di kelas, kami langsung menemukan
solusi yang dirasa dapat menyelesaikan permasalahan yang ditemukan.
Tetapi
kemudian, solusi itu hanya menjadi informasi yang tersimpan dalam pembelajaran
kelas tersebut, tersimpan di lingkungan kampus saja.
Begitu juga dengan Tugas Akhir atau Skripsi mahasiswa
pendidikan. Kebanyakan hanya dikerjakan sebagai prasyarat kelulusan, walaupun
melakukan observasi dan penelitian dengan benar. Lebih banyak kesimpulan
penelitian atau produk pengembangan tersimpan rapat di kampus. Informasi itu
tersimpan diantara pemikiran para mahasiswa dan dosen. Jarang saya temui, hasil
penelitian pendidikan mahasiswa digunakan secara real di lapangan.
Hal ini terjadi karena belum adanya wadah yang menampung
hasil-hasil karya mahasiswa yang terhubung dengan pihak sekolah.
Saya jadi menyadari beberapa hal...
Kampus pendidik calon guru dengan sekolah di lapangan
belum terhubung dengan baik dan rapi. Buktinya masih ada gap permasalahan
mendasar semacam ini.
Juga, bapak-ibu guru yang sekolahnya diobservasi terkadang
menambahi dan mengurangi informasi yang diberikan agar sekolahnya terlihat
‘bagus’ dan tidak mau kekurangan yang ada di sekolah diketahui orang luar
sekolah (walaupun untuk kasus observasi mahasiswa sebagai tugas kuliahnya).
Hal ini terjadi karena, pihak sekolah merasa tidak
diuntungkan dari masuk-keluar nya para mahasiswa yang melakukan observasi di
sekolah mereka. Sehingga tidak ada ruginya jika ‘membaguskan’ sekolahnya dan
menutupi kekurangan-kekurangan sekolah.
Menurut saya hal ini adalah mis-komunikasi yang sangat besar
dan bahkan sampai tidak disadari.
Semacam, para guru membantu sedanya karena tidak diuntungkan
dan para mahasiswa mencari informasi seadanya demi kepentingan ‘tugas selesai’.
Padahal antara pihak kampus dan sekolah seharusnya
bersinergi.
Pihak kampus memiliki itikad baik, karena mencoba membuat
mahasiswanya mencari permasalah real di lapangan untuk dicarikan solusinya,
tetapi setelah perkuliahan usai, tidak ada kelanjutannya. Tugasnya diberi nilai
dan dilupakan.
Alangkah baiknya jika mahasiswa menemukan permasalahan di
sekolah, mendiskusikannya di kelas (kampus) bersama teman dan dosen, kemudian
menyampaikan usulan solusi terbaik kepada pihak sekolah sehingga turut berperan
serta.
Jika dari awal mahasiswa dituntut untuk menyampaikan solusi
permasalahan kepada pihak sekolah, mungkin saja sekolah akan merasa
diuntungkan.
Hal ini juga dapat mempengaruhi kejelasan informasi yang
diberikan pihak sekolah. Pihak sekolah akan memberikan informasi yang sesuai
dengan kondisi mereka agar mendapatkan solusi yang tepat.
Kesadaran saya ini berawal dari permasalahan nyata
yang saya amati kemudian saya memikirkannya dan mengusulkan
solusi terbaik (menurut saya) dari permasalahan ini. Terakhir cara saya
untuk menyampaikannya adalah dengan memposting hasil pemikiran saya di
blog ini.
Feel – Think – Imagine – Act.