Holt,
John. 1964. How Children Learn. New
York: Pitman Publishing Company
Holt,
John. 2012. Bagaimana Siswa Belajar.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Kisah
berikut diambil dari buku How Children
Learn pada halaman 271-277.
Kisah
berikutnya adalah tentang sebuah kelas di sekolah pedesaan yang diajar oleh
Julia Weber (sekarang berubah menjadi Julia Gordon).
Anak-anak
yang sekolah disana berada pada kelas 1 sampai kelas 8. Seringkali, jika
diperlukan, mereka bekerja dengan mandiri. Disaat-saat yang lain, mereka
mendiskusikan banyak hal dalam satu kelas. Dalam diskusi semacam ini banyak
pertanyaan bermunculan, dan merupakan kebiasaan Bu Weber untuk mencatat
pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab ke dalam sebuah lambar besar dan
menempelkannya di tembok, di mana semua anak dalap melihatnya dan selalu
mengingatnya. Anak-anak tidak diharuskan mencari jawabnnya;
pertanyaan-pertanyaan ini bukan bagian dari kurikulum atau pekerjaan rumah.
Namun anak-anak dibebaskan mengikuti semua hal yang memang menarik perhatian
mereka. Beberapa pertanyaan itu bahkan tak pernah terjawab. Sementara beberapa
yang lain telah berhasil menangkap keingintahuan anak-anak dan membawa mereka
ke eksplorasi yang lebih luas lagi.
Pertanyaan
yang memancing keingintahuan itu salah satunya datang pada awal musim semi, di
saat anak-anak bersiap menanggalkan baju musim dingin mereka. Baju-baju musim
dingin itu harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum disimpan, dan seseorang
bertanya mengapa baju-baju itu tidak bisa dicuci saja. Banyak diantara mereka
tahu bahwa kalau baju dari bahan wol itu dicuci maka baju itu akan menyusut.
Lalu kenapa eol itu bisa menyusut, dan kalau wol itu menyusut lalu apa yang
terjadi? Tidak ada yang tahu jawabannya. Mungkin mereka bisa menemukan
jawabannya jika mereka melihat bahan wol itu dengan bantuan mikroskop.
Sayangnya, mereka tidak memiliki mikroskop dan pastinya tidak mampu membelinya.
Baiklah, kalau begitu mereka akan meminjamnya. Mereka kemudian menulis sebuah
surat –saya rasa surat itu dilayangkan ke sebuah universitas negri—menayangkan
apakah mereka bisa meminjam sebuah mikroskop dan menjelaskan alasan mereka
meminjamnua. Kebetulan anak-anak ini memang terbiasa menulis surat semacam ini,
mereka bahkan menulisnya hampir setiap saat, oleh karena sekolah mereka ynga
kecil tidak memungkinkan mereka membeli segala sesuatu.
Disinilah
menurut saya, jawaan atas sebuah takhayul yang begitu berkembang saat ini, yang
dibuat dengan gaya oleh Dr. Conant dan kawan-kawan, bahwa kita harus memiliki
sebuah pabrik sekolah raksasan karena kita tidak akan bisa memperoleh
pendidikan yang baik di sekolah jikalau
kita tidak didukung oleh peralatan paling mutakhir. Saat kita berupaya membuat
sekolah menjadi lebih besar, kita justru semakin kehilangan nilai-nilai yang
kita peroleh sebelumnya dan betapa kecilnya nilai yang kita peroleh jika kita
betul-betul memiliki semua peralatan sedemikian mahal ini, padahal kita bisa
meraihnya dengan cara yang lain. Seharusnya terdapat, sebagaimana yang terjadi
di beberapa negara bagian, sebuah perpustakaan pusat dimana semua buku dan
peralatan bisa dipinjam, atau perpustakaan dan laboratorium keliling yang dapat
mengunjungi sekolah-sekolah secara bergantian. Suatu hari nanti, jika kita
mengatasi gagasan kita bahwa kebesaran dunia pendidikan itu berarti efisiensi
dan kualitas, maka kita bisa menghidupkan lagi beberapa dari ide-ide tersebut.
Selanjutnya,
mikroskop itu akhirnya tiba –anak-anak sendiri memiliki banyak pekerjaan yang
harus dilakukan selagi mereka menunggu kedatangannya. Kegembiraan begitu
meluap-luap saat mereka dengan sangat berhati-hati membuka bungkusnya dan
membaca instruksi penggunaannya dan mulai belajar memakainya. Tak berapa lama,
mereka sudah siap meneliti beberapa serat wol sebelum dan sesudah serat wol itu
dicuci. Mereka menemukan bahwa serat wol itu memiliki sambungan, mirip-mirp
teleskop, dan untuk beberapa sebab, sambungan ini bergerak saat wol itu dicuci.
Kemudian setelah meneliti wol, mereka memutuskan meneliti beberapa jenis kain
lainnya menggunakan mikroskop –seperti linen, katun, dan rayon. Mereka kemudian
menyadari perbedaan tampilan dari tiap-tiap kain –juga menyadari bahwa tampilan
setiap kain itu ditentukan oleh bagaimana kain itu ditenun. Hal ini kemudian
membuat mereka tertarik dengan aktivitas menenun, dan setelah beberapa kali
membuka forum diskusi, mereka pun sepakat membuat kain sendiri dengan cara
menenun menggunakan peralatan paling sederhana. Kemudian banyak surat
dilayangkan dan setelah beberapa saat mereka berhasil memperoleh pelbagai hal
yang dibutuhkan untuk memintal dan menenunkain, dan ini dimulai dari wol yang
masih mentah. Mereka memilih wol karena wol lebih mudah diolah sekalipun
menggunakan peralatan sederhana. Mereka memperoleh wol mentah dari seorang
tetangga yang memiliki domba; kemudian wol mentah itu merek cuci, pilah-pilah,
pintal, dan tenun. Seorang anak di kelas kemudian tertarik mengetahui berapa
lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat sebuah oakaian. Mereka pun memutuskan
membuat catatan tentang waktu yang dipakai saat proyek ini berlangsung dan
akhirnya mengembangkan atau menemukan ide man-hour
(yaitu jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pekerja rata-rata dalam
satu jam) sebagai sebuah unit kerja –sebuah konsep yang amat penting dalam
ekonomi.
Saat
selesai menenun secarik kain berbentuk bujur sangkar, catatan mereka
menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut dibutuhkan 72 man-hour. Tujuh puluhdua jam
hanya untuk kain sekecil ini! Lalu berapa lama waktu yang diperlukan untuk
membuat sebuah pakaian yang utuh? Pertanyaan ini banyak terkait dengan
aritmatika, ditambah menghitung luas sebuag objek yang bentuknya tidak biasa. Saat
mereka menemukan berapa lama waktu yang dihabiskan untuk membuat sebuah pakaian
utuh, berdasarkan perhitungan mereka, mereka mulai berpikir tentang bagaimana
orang-orang pada masa kolonialisasi bisa mengatur waktu mereka untuk membuat
pakaian mereka sendiri. Mereka juga akhirnya bisa melihat betapa besar
pentingnya buruh yang memiliki spesialisasi kerja, serta untuk mendukung metode
menghemat waktu dan energi.
Proyek
membuat pakaian ini telah membawa anak-anak k berbagai arah yang berbeda. Satu hal
yang pasti, mereka jadi ingin memberi warna pada pakaian; mereka mencari tahu
tentang pewarna pakaian dari bahan alami, bagaimana pewarna ini dibuat, dan
bagaimana menggunakannya. Oleh karena semua pewarna alami ini berasaldari
tumbuh-tumbuhan, mereka pun dibawa ke pelajaran tentang botani. Mereka membuat
beberapa jenis pewarna dan mengujinya. Mereka juga tertarik dengan kain
berbahan dasar wol yang lain. Kain sederhana yang telah mereka buat tidak
seperti pakaian wol yang sering mereka lihat dan pakai. Apa yang menyebabakan
perbedaan itu? Ada berapa jenis wol di luar sana? Anak-anak kemudian bertanya
kepada setiap orang yang memakai pakaian wol yang mereka jumpai tentang bahan
wol macam apa yang mereka kenakan. Mereka akhirnya menemukan bahwa wol terdiri
atas berbagai jenis. Salah seorang kemudian mencatat, di sebuah peta,
jenis-jenis hewan yang menghasilkan bahan wol dan di belahan dunia mana
hewan-hewan berada. Hal ini kemudian memancing keingintahuan mereka dan
kemudian membuat mereka berdiskusi tentang mengapa harga beberapa wol lebih
mahal daripada yang lain. Setelah perbincangan demi perbincangan dan membaca
banyak tentangnya, mereka memutuskan bahwa faktor harga ditentukan oleh hewan
penghasil wol itu sendiri, seberapa sulit hewan tersebut diternakkan dan
dijaga, seberapa banyak wol yang dapat dihasilkan hewan itu, juga berkaitan
dengan tingkat kesulitan dalam mengubah wol menjadi sebentuk kain, seberapa jauh
kain wol ini harus didistribusikan, dan seterusnya. Ilmu ekonomi yang lebih
nyata dan beberapa pelajaran geografi tersempil di dalamnya.
Pada
saat yang sama, mereka kemudian menaruh perhatian akan perbedaan (yang saya
sendiri juga tidak tahu) antara woolens
(kain yang dibuat dengan wol atau wol yang dicampur dengan bahan wol
buatan/artifisial) dan worsted
(sejenis wol yang biasa dipakai untuk membuat jaket dan celanan), dan proses
penemuan, serta industrinya. Mereka menemukan bahwa mesin yang berkualitas
dapat menekan harga kain wol. Lalu siapakah yang menemukan mesin tersebut? Untuk
memperoleh jawaban atas pertanyaan tersebut, mereka harus memesan buku dari
perpustakaan negara bagian. Dr. Gordon bercerita kepada saya bahwa dalam satu
tahun sebuah kelas berisi tigapuluhlima orang siswa meminjam tujuh ratus buah
buku. Mereka kemudian menemukan bahwa banyak dari mesin-mesin awal ditemukan di
Inggris. Lalu mengapa disana? Sebagian karena di Inggris sudah terdapat
pembagian kerja tertentu, sehingga siap menjalankan bentuk organisasi seperti
pabrik. Lalu seperti apakah bentuk pabrik-pabrik itu? Anak-anak ini kemudian
mengunjungi sebuah pabrik tekstil di New Jersey, membaca tentang pabrik-pabrik
yang dibangun sebelumnya, dan kondisi para buruh, berbicara tentang pengaruh
mesin terhadap penggunaan tenaga kerja, meneliti efek-efek yang ditimbulkan
mesin pabrik terhadap lingkungan sekitar, mulai memikirkan serikat buruh, dan
hukum-hukum perburuhan. Dan seterusnya.
Bukan
hanya hal-hal ini saja yang anak-anak ini tersebut lakukan. Saat menyelami
pertanyaan tersebut, mereka juga menyelami banyak hal lainnya. Memang tidak
semua anak melakukan hal-hal semacam ini. Penelitian perdana, misalnya, hanya
dilakukan sekelompok anak. Meski demikian, mereka tetap melaporkan hasil
penelitian mereka ke semua siswa di dalam kelas, sehingga hampir semua penemuan
yang mereka hasilkan diketahui dan dibagikan kepada semua anak.
Kisah-kisah
semacam ini memperlihatkan kepada kita tentang berbagai cara anak-anak belajar.
Mereka melihat dunia secara keseluruhan, sekalipun mungkin terlihat misterius. Mereka
tidak membagi dunia ke dalam bentuk kategori-kategori kecil yang kaku, sebagaimana orang dewasa
sering lakukan. Biasa bagi mereka melompat dari satu hal ke hal yang lain dan
kemudian membuat hubungan di antara hal-hal tersebut, sesuatu yang jarang
ditemui pada kelas-kelas formal dan buku-buku cetak. Mereka merintis jalan mereka sendiri menuju suatu hal yang
tidak mereka ketahui, sebuah jalan yang kita sendiri pun tak terpikir untuk
membuatnya.
Sebentar...
Bagaimana
perasaan Anda sekarang?
Apakah
selama membaca dada Anda sesak? Terharu? Mulai berpikir ‘kita juga bisa
melakukan hal ini’?
Lalu
muncullah pertanyaan besar,
“Apa
yang harus kita semua lakukan, saat di satu pihak memiliki ide dan inovasi yang
sudah siap diuji coba atau bahkan sudah siap digunakan untuk perubahan, tetapi
di pihak lain tidak/belum menyadari adanya tuntutan perubahan?”
Saya
tidak memiliki jawabannya, tetapi Anda memiliki pemikiran, ide dan inovasi yang
dapat menjawab pertanyaan tersebut.