Anak-anak ini adalah manusia. Mereka bukan orang dewasa yang harus selalu dihukum jika mereka salah, mereka adalah anak-anak minim pengalaman dan pengetahuan. Jika orang dewasa dihukum karena kesalahan yang mereka perbuat, anak-anak boleh melakukan kesalahan. Kesalahan adalah salah satu pembelajaran yang menjadikan mereka bisa memperbaiki diri. Sebenarnya orang dewasa pun dapat menjadikan kesalahan sebagai cara memperbaiki diri, tetapi orang dewasa dianggap sudah memiliki cukup pengetahuan dan pengalaman, sehingga pantas dihukum.
Jika sekali bersalah lalu dengan sewenang-wenang mereka dihukum, tanpa
melakukan tanya jawab pada si anak, menanyakan alasan-alasan mengapa Ia
melakukannya, lalu mereka bisa belajar apa dari kesalahannya?
Mereka akan mempelajari bahwa, berbuat salah adalah hal yang memalukan dan
menakutkan. Karena dipermalukan di depan temannya dan dihukum sewenang-wenang.
Mereka akan selalu ragu dalam berbuat. Jika mereka ingin berbuat mereka akan
selalu mengalami konflik diri, jika saya lakukan ini nanti jangan-jangan saya
dihukum. Sehingga mereka selalu ketakutan saat akan berbuat sesuatu.
Kesalahan pertama anak hendaknya dimaklumi kemudian diberi dorongan untuk
memperbaiki diri.
Contohnya saja, pada bulan pertama saya mengajar, kami membuat peta konsep
bersama-sama.
Dengan alasan untuk mempersingkat waktu, saya menyarankan anak-anak untuk
langsung menulis dengan spidol, karena banyak dari mereka yang berencana
menulis dengan pensil dahulu baru menebali dengan spidol.
Sebenarnya tidak apa, jika mengedepankan kerapihan dengan ‘zero mistake’.
Tetapi begitu saya mengatakan langsung pakai spidol, banyak anak-anak
terutama anak perempuan yang protes dan berkata,
“Buuu, pake pensil aja bu, nanti di salin biar ga salah.”
“Iya buuu, nanti kalo salah gimana bu? Dihapus ga bisa, di tip-ex ga bisa
ditulisi lagi, kan pake spidol?”
Saya membalas dengan tenang,
“Salah gapapa, tinggal dicoret. Ada coret-coret gapapa, yang penting
tulisannya jelas terbaca. SALAH TIDAK APA.”
Mereka lalu berkekspresi wajah yang tidak biasa, semacam heran campur
senang.
Mungkin mereka berpikir, “oh, boleh ya salah? Oh boleh ya dicoret? Berarti kalo
salah gapapa?”
Yang saya harapkan memang, mereka tidak harus takut berbuat salah. Bukan berarti
‘kesalahan’ laku yang jelas tidak boleh dilakukan seperti memukul, mengejek
dll. Tetapi tidak takut salah dalam berbicara, berpendapat, bertanya (untuk
memenuhi tuntutan rasa ingin tahu mereka) atau untuk sekedar menulis seperti
tadi.
Juga dalam kesalahan yang dilakukan anak seperti pada postingan saya
sebelumnya yaitu Pembelajaran Menantang yang Berharga.
Dalam suatu permasalahan terdapat kesalahan yang diperbuat anak.
Sebelum melakukan tindakan, saya selalu bertanya mengapa begitu atau apa
alasannya.
Seperti saat seorang anak lelaki ‘99’ yang pada suatu hari tidak masuk
sekolah tanpa keterangan. Keesokan harinya, Ia masuk sekolah seperti biasa dan
saya menanyainya.
Saya : “99, kamu kemarin kenapa gak
masuk? Sakit tah?”
99 : “Enggak sakit bu.”
Saya : “Terus kenapa kok gak masuk?”
99 : “Soalnya saya gak suka duduk
sebangku sama anak perempuan bu.”
Saya langsung menghentikan pembicaraan dan langsung membatin.
Bahkan anak memiliki alasan lebih besar
untuk tidak masuk sekolah daripada masuk sekolah dan belajar.
Duduk dengan anak perempuan lebih tidak
enak jika harus belajar di sekolah.
Jadi, tidak masuk sekolah lebih
menenangkan.
Sehingga, saya berpikir, anak-anak harus merasa aman dan nyaman terlebih
dahulu, baru mereka mau belajar atau dapat belajar.
Saya berharap lebih banyak lagi anak-anak yang tidak ‘takut’.
Saya berharap lebih banyak guru dan orang tua yang dapat mewujudkan
generasi yang tidak ‘takut’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar