Rabu, 12 November 2014

Lebih khawatir dan sedih

Selasa, 11 November 2014
23.48

Hari ini saya lebih khawatir.

Seorang siswa bernama NN, dari obrolan singkat kami;

NN sebelumnya bersekolah di luar pulau Jawa, sudah SMA jurusan IPS.
Lalu NN pindah ke Jawa, di Malang, masuk sebuah SMA swasta jurusan IPA (MIA).

NN masih kelas X.

NN sudah mengikuti bimbel (les) di tempat saya selama 2 bulan.

Pada awalnya NN belajar dengan rajin terutama matpel Kimia. Saya begitu heran, dia datang ke tempat bimbel tanpa ada buku paket maupun LKS. Catatan di bukunya tidak lengkap dan terkesan ditulis asal-asalan.

Saya sadar betul kemampuan saya tentang mata pelajaran ini. Selain bidang yang saya tekuni adalah Biologi dan track-record matpel Kimia saya dulu kurang baik. Saya kebingungan harus mengajarkan suatu materi mulai darimana dulu, selain karena NN tidak membawa buku paket.

Saya browsing di internet, mencari materinya dan sebisanya membimbing NN memahami Kimia mulai dari dasar. Sayang sekali, saya yang kurang menguasai matpel ini, ditambah dengan kemampuan belajarnya yang lambat, menambah pesimisme saya. Saya hanya tidak bisa menerima kenyataan, bahwa ada siswa yang tertinggal sampai seperti ini.

Pernah karena saya begitu tidak tahan dengan perasaan saya, saya menanyakan pada NN mengapa dia milih jurusan IPA. NN menjawab bahwa Ibunya yang memasukkannya di sekolah itu, sekaligus memilihkan jurusan IPA untukknya. Lalu saya menyarankan pada NN, mengapa tidak alih jurusan saja karena masih awal semester 1. Tetapi NN menjawab, “Nggak deh mbak, lagian Ibukku sudah berangkat”.

Dengan raut mukanya yang menjadi sedih setelah saya bertanya-tanya hal itu, saya tidak melanjutkan pembicaraan itu. Lalu saya bilang, “Kamu kalau bener-bener pengen bisa, mending les privat aja, soalnya bakal lebih banyak belajar dan tentornya fokus ke kamu aja. Kalau disini kan sistemnya kelas, jadi bagi-bagi sama siswa bimbel yang lain.”
Lalu saya berpikir, mungkin ibunya seorang TKI.

Kemudian, kami mengakhiri pertemuan kali itu. Selanjutnya NN tidak serajin yang dulu. NN hanya masuk saat ada PR atau ujian. Saya setengah merasa bersalah, tetapi mentalnya masih terlalu rapuh, tidak sesuai dengan usianya. Saya sedih.

Bertambahlah kesedihan saya saat NN mengerjakan PR Bahasa Indonesia. NN meminta bantuan untuk mengerjakan PR tersebut, tugasnya hanya mencari sebuah teks anekdot. Biasanya anak yang lain akan browsing di Internet dan menyalinnya di buku. Tetapi tidak untuk NN, memasukkan kata kunci di Google saja dia masih bingung, setelah ditampilkan banyak link, pun dia masih kesulitan (hanya untuk memilih salah satu link). Saya menjadi tidak sabar karena saya menangani siswa yang lain, tetapi dia begitu bergantung kepada saya. Seperti menunggu instruksi berikutnya, lalu apa, lalu ngapain, tanpa memikirkan sendiri selanjutnya apa yang akan dia lakukan. Saya menekan dia agar mencari sendiri, berkali-kali, tetapi tidak berhasil.

Hari ini, kembali ada tugas Bahasa Indonesia. Saya baru sadar, PR yang Ia bawa ke tempat bimbel selalu tidak jelas instruksinya, entah karena tata bahasa yang dipakai berbeda (karena sebelumnya dia tinggal di luar jawa), atau memang dia tidak mengerti ataukah instruksi dari guru yang memang tidak jelas.

Kali ini dia sudah memiliki inisiatif dengan membawa laptop dan modem. Dia bilang tugasnya tentang pengertian, cara dan contoh ‘interpretasi’. Setelah browsing ternyata lebih mengarah ke matpel geografi. Saya menanyakan, interpretasi ada di buku halaman berapa. Dia menjawab, “Pokoknya ada disini mbak, tapi aku gak tau dimana, katanya pokoknya disuruh nyari pengertian, cara dan contoh interpretasi (mengulang menjelaskan)”.
“Loh, saya tau instruksinya, tapi tidak jelas maksudnya apa, kalau di buku ada tunjukkan biar lebih jelas dan tau maksudnya apa.”

Lalu saya menekan NN agar dia berusaha memikirkan apa yang harus Ia lakukan selanjutnya.
NN : “Buka Mozilla ya mbak?”
Saya :”Iya”
NN mulai mengetik dan mencari di google
NN : “Mbak yang mana?”
Saya :”Yang Wikipedia aja”
NN :”Ini di copy semua ya mbak?”
Saya :”Iya”
NN mencoba mem-blok sebuah paragraf. Beberapa kali gagal dan percobaan terakhir berhasil, tetapi berhenti lalu..
NN :”Mbak Aku gak bisa, tolong copy-in”
Saya :”Ini kan tinggal di klik kanan-copy aja?”

NN bermain HP, kemudian memandang saya. Saya menangkap pesan tersirat dari raut wajahnya, seperti dia berkata “Saya benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan, ini semua sangat sulit, tolonglah saya”

Dengan siswa lain yang menunggu untuk dibimbing, saya menjadi tidak sabar. Saya kerjakan sendiri tugas NN. Saya browsing dan copy-paste, memotong dari web dan menempelnya ke PPT. Ini menyalahi hati saya, bukan begini cara mendidik. Tetapi tentor bertanggung jawab menyelesaikan PR dan tugas siswa (itu yang utama, selain membuat siswa paham). Jika siswa lamban, malas dan tidak termotivasi, sedangkan siswa lain menunggu dibimbing, saya harus bagaimana?

Membimbing 5 siswa (kadang lebih) dengan latar belakang berbeda (SD, SMP, SMA dengan kemampuan dan motivasi belajar berbeda-beda) dalam waktu 90 menit, dengan beban menyelesaikan PR yang jelas berbeda tiap siswa, tidak mungkin saya akan terfokus pada siswa yang seperti NN untuk kemudian memotivasinya, membuatnya tertarik untuk belajar dst. Pembelajaran dalam kelas di sekolah saja (yang memiliki latar belakang sama, yaitu jenjang dan kelasnya sama), untuk memotivasi siswa dan membuatnya tertarik untuk belajar membutuhkan beberapa pertemuan, itu saja belum tentu berhasil.

Saya hanya tidak mau terus-terus an melakukan hal yang menyalahi hati dan prinsip saya. Saya khawatir lama-kelamaan saya akan terbawa arus dan terjerumus dalam hal yang selalu saya tentang yaitu, “guru yang menghasilkan robot, bukan manusia”.

Saya sedih.

Memikirkan berbagai solusi, tetapi hubungan sosial antar manusia tidak semudah itu. Berbagai tinjauan dan pandangan di setiap faktor dan kemungkinan sangat rumit. Hal ini bisa diselesaikan, tetapi tidak secepat itu.

Saya hanya harus beristirahat dan meninjau ulang.

Minggu, 09 November 2014

Tak kalah usangnya...

Kita tahu bahwa menyalakan api dengan cara menggosok-gosokkan dua batang kayu telah usang. Namun, sadarkah kita bahwa sistem pendidikan yang berlangsung saat ini didasari oleh konsep yang tak kalah usangnya?

Dikutip dari buku The Learning Revolution oleh Gordon Dryden dan Jeannette.

Jumat, 07 November 2014

Hanya saja apatis sama sekali tidak membantu

Jumat, 7 November 2014

Hari ini salah satu muridku, Venus (Kelas 4 SD) tidak bersemangat, katanya karena belum menyiapkan baju sekolahnya buat besok.

Ah.. betapa orang tuanya bagus sekali dalam mendidik.

Selain itu, saya mengkhawatirkan beberapa hal.

Beberapa minggu terakhir, suhu di Malang begitu panas. Muridku yang bersemangat, berjubel memenuhi ruangan. Aku jadi tidak sabar dan hal ini membuatku sedih.

Tetap dengan penemuan merobek hati, setiap hari saya menemui siswa yang dibuat susah dan tidak mengerti arti dari “mengapa saya harus mengerjakan PR? Mengapa saya harus belajar?”

Austin (Kelas 2 SD) yang selalu mengeluh capek dan cepat-cepat ingin ‘istirahat’ dari mengerjakan PR. Saya mengizinkan murid-murid untuk istirahat dari belajarnya, barang 5 sampai 10 menit untuk bermain atau jajan. Baru mengerjakan 5 soal, sudah tanya kapan ‘istirahat’. Baru mengerjakan 1 dari 10 halaman sudah mengeluh capek, karena baru saja les Bahasa Inggris. –miris didalam hati, melihat anak-anak dipaksa belajar dengan waktu yang lama, tanpa mau berpikir cara belajar yang efektif.

Mereka pikir semakin banyak soalnya yang dikerjakan, semakin sering belajar dan semakin panjang waktu belajar, maka anak akan pandai.

Ah... betapa semua ini begitu tidak berarti jika tidak bisa memaknai.

Vanesa (Kelas 4 SD), baru saja masuk les hari Rabu lalu, yang saya tau, kemampuan matematikanya masih seperti anak kelas 2 SD. Lebih sering ngarang dan asal-asalan saat saya tanya secara lisan, seperti;

Saya : “ 6 : 2 berapa?”
Vanesa : “Satu!”, dengan spontan.

Lalu saya menunjukkan raut muka yang tidak setuju. Lalu seketika Vanesa memutar bola matanya keatas, menunjukkan wajah berpikir –walaupun kadang saya tidak yakin bahwa dia benar-benar berpikir.

Saya rasa kelemahannya ada pada pembagian dan perkalian. Jika ini dibiarkan, maka Vanesa tidak akan belajar banyak pada tahap selanjutnya.

Dengan waktu dan tempat terbatas, saya memandu para murid memahami apa yang mereka kerjakan. Sayangnya, akhir-akhir ini saya cenderung mendikte jawaban dari pertanyaan PR mereka yang berlembar-lembar. Hampir setiap hari, para murid mendapat PR berlembar-lembar, tanpa mendapat penjelasan dari guru terlebih dahulu. Lebih parahnya lagi, PR yang sudah mereka kerjakan dengan susah payah dan dibawah tekanan, tidak dikoreksi atau tidak dibahas dikelas sesuai janji guru. Ada juga yang hanya melihat apa sudah penuh dikerjakan atau belum, jika sudah penuh tidak dikoreksi dan jika masih kosong dicoret dengan tinta merah, kemudian ditulis poin-poin yang tidak bisa dimengerti maskudnya.

Saya seperti pada titik puncak kesabaran saya dengan kelakuan pendidik mereka di sekolah. Sayangnya dengan hal itu, saya melimpahkan kekesalan saya terhadap murid-murid. Ah, saya begitu sedih :’(.

Saya tidak bisa menyalahkan pendidik mereka secara mentah. Bisa saja pendidik itu mengalami problema yang tidak saya alami, yang tidak saya tahu. Mungkinkah mereka kekurangan waktu maupun kesejahteraan sehingga terkesan melepas tanggung jawab dengan memberi Pekerjaan Rumah sebanyak-banyaknya tanpa memandu siswa memahami apa yang harus mereka pahami.

Hanya saja...

Apatis adalah musuh terbesar perubahan!
#speechless