Senin, 14 Maret 2016

Kampus dan Sekolah



22.24 – 14 Maret 2016


Hari ini datang dua orang mahasiswa melakukan observasi di sekolah.

Saya yang baru saja menyelesaikan pendidikan S1 mengingat kembali proses perkuliahan dulu.

Mahasiswa jurusan pendidikan beberapa kali diberi tugas untuk mengamati langsung lingkungan sekolah atau observasi dengan cara yang lain (seperti wawancara dengan guru atau siswa bersangkutan).

Yang biasanya kami lakukan adalah melakukan pengamatan lingkungan sekolah, kemudian kami bahas plus-minus nya di kelas, bersama teman sekelas dan dosen.

Kami menemukan permasalahan-permasalahan yang perlu dicarikan solusi. Terkadang selama diskusi di kelas, kami langsung menemukan solusi yang dirasa dapat menyelesaikan permasalahan yang ditemukan. 

Tetapi kemudian, solusi itu hanya menjadi informasi yang tersimpan dalam pembelajaran kelas tersebut, tersimpan di lingkungan kampus saja.

Begitu juga dengan Tugas Akhir atau Skripsi mahasiswa pendidikan. Kebanyakan hanya dikerjakan sebagai prasyarat kelulusan, walaupun melakukan observasi dan penelitian dengan benar. Lebih banyak kesimpulan penelitian atau produk pengembangan tersimpan rapat di kampus. Informasi itu tersimpan diantara pemikiran para mahasiswa dan dosen. Jarang saya temui, hasil penelitian pendidikan mahasiswa digunakan secara real di lapangan.

Hal ini terjadi karena belum adanya wadah yang menampung hasil-hasil karya mahasiswa yang terhubung dengan pihak sekolah.

Saya jadi menyadari beberapa hal...

Kampus pendidik calon guru dengan sekolah di lapangan belum terhubung dengan baik dan rapi. Buktinya masih ada gap permasalahan mendasar semacam ini.

Juga, bapak-ibu guru yang sekolahnya diobservasi terkadang menambahi dan mengurangi informasi yang diberikan agar sekolahnya terlihat ‘bagus’ dan tidak mau kekurangan yang ada di sekolah diketahui orang luar sekolah (walaupun untuk kasus observasi mahasiswa sebagai tugas kuliahnya).

Hal ini terjadi karena, pihak sekolah merasa tidak diuntungkan dari masuk-keluar nya para mahasiswa yang melakukan observasi di sekolah mereka. Sehingga tidak ada ruginya jika ‘membaguskan’ sekolahnya dan menutupi kekurangan-kekurangan sekolah.

Menurut saya hal ini adalah mis-komunikasi yang sangat besar dan bahkan sampai tidak disadari.
Semacam, para guru membantu sedanya karena tidak diuntungkan dan para mahasiswa mencari informasi seadanya demi kepentingan ‘tugas selesai’.

Padahal antara pihak kampus dan sekolah seharusnya bersinergi.

Pihak kampus memiliki itikad baik, karena mencoba membuat mahasiswanya mencari permasalah real di lapangan untuk dicarikan solusinya, tetapi setelah perkuliahan usai, tidak ada kelanjutannya. Tugasnya diberi nilai dan dilupakan.

Alangkah baiknya jika mahasiswa menemukan permasalahan di sekolah, mendiskusikannya di kelas (kampus) bersama teman dan dosen, kemudian menyampaikan usulan solusi terbaik kepada pihak sekolah sehingga turut berperan serta.

Jika dari awal mahasiswa dituntut untuk menyampaikan solusi permasalahan kepada pihak sekolah, mungkin saja sekolah akan merasa diuntungkan.

Hal ini juga dapat mempengaruhi kejelasan informasi yang diberikan pihak sekolah. Pihak sekolah akan memberikan informasi yang sesuai dengan kondisi mereka agar mendapatkan solusi yang tepat.

Kesadaran saya ini berawal dari permasalahan nyata yang saya amati kemudian saya memikirkannya dan mengusulkan solusi terbaik (menurut saya) dari permasalahan ini. Terakhir cara saya untuk menyampaikannya adalah dengan memposting hasil pemikiran saya di blog ini.

Feel – Think – Imagine – Act.