Kamis, 18 Juni 2015

Janji untuk X MIA 1 SMARIHEKSA 2014/2015!


Pada awal semester genap Tahun Ajaran 2014/2015, saya melaksanakan PPL di SMAN 6 Malang selama kurang lebih satu setengah bulan.
Halaman depan SMAN 6 Malang
Kelas X MIA 1 adalah kelas favorit saya, karena para siswanya yang bersemangat, banyak ide dan menyenangkan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas.

Pada awalnya saya merasa kurang bersemangat saat mengajar di kelas X MIA 1, saya merasa kurang kompeten dan minder dalam mendidik para siswa. Hal ini karena pada minggu pertama saya mengajar di kelas ini, para siswa terlihat kurang bersemangat dan cenderung ramai.

Sampai akhirnya pada minggu kedua, Ibu Yetty (Guru Biologi kelas X MIA 1) menyarankan saya untuk melaksanakan KBM di lab bio (laboratorium biologi) saja, karena tempatnya lebih luas, penerangannya bagus, terjangkau wifi dan LCD-nya berfungsi dengan baik. Memang lebih baik, jika dibandingkan dengan kelas mereka yang cenderung sempit, panas dan tayangan LCD tidak terlihat dengan jelas.

Men doing their works seriously!
Women too!
Begitu KBM dilaksanakan di lab bio, siswa terlihat lebih fokus dan penyampaian materi lebih baik. Terbukti dari partisipasi aktif siswa setiap saya mengajukan pertanyaan, mereka akan bertepuk tangan dengan meriah dan berteriak girang jika jawaban mereka benar.

[Tepuk tangan penyemangatnya di provokasi oleh seorang anak lelaki yang gagah berani dan terlibat aktif pada ekskul PASKIBRA. Saya setuju dengan apa yang Ia lakukan, bahwa belajar tidak selalu harus serius jika kamu bisa belajar dengan tertawa bahagia.]

Hal ini membuat saya lebih nyaman dan bersemangat dalam mempersiapkan KBM selanjutnya. Sehingga pada minggu ketiga, saya sudah merasa mengenal dan akrab dengan para siswa kelas X MIA 1. Beberapa siswa mengaku, yang pada awalnya mereka mengeluh dan tidak setuju dengan cara  mengajar saya, sekarang mereka lebih bersemangat karena menyukai KBM yang saya lakukan di kelas.

They happy when go out from class and touch anything!
[Seorang siswi berkacamata dan berkerudung bercerita,
Bu, dulu saya bilang, “Hancurkan bu Sofi!”, kalau sekarang saya bilang, “Hidup bu Sofi!”.
Saya terkesan dan menempatkan penghargaan ini dalam hati saya.]

Ternyata, mengajar bukan hal yang mudah! (baca lebih lanjut!)

Pernah saya mengoreksi tugas, menemukan jawaban berupa pisang goreng.

[Dalam batin, beraninya mereka mempermainkan saya! Mereka kira belajar hanya main-main?!]

Tetapi kemudian saya berpikir banyak hal, seperti mungkin mereka bosan dengan cara saya mengajar, mungkin saya kurang memperhatikan mereka, mungkin saya mengabaikan bahwa mereka masih belum memahami materi, mungkin saya terlalu cepat, mungkin dia sakit, mungkin dia memiliki masalah dengan temannya, dirumah atau diluar sekolah. Mereka hanya belum mengetahui makna dari apa yang mereka pelajari.

“Apa gunanya saya belajar jenis-jenis dan ciri-ciri tumbuhan paku? Buat apa sih? Toh saya hidup gak buat nyari tumbuhan paku!”

[Mungkin itu yang kalian pikirkan atau mungkin kalian pergi ke sekolah hanya karena kewajiban dari orang tua atau hanya ingin bertemu dengan teman.]

Siswa-siswi sekaligus adik-adikku, kalian pasti menginginkan sesuatu dalam hidup kalian? Maka gapailah itu!
Tetapi, saya yakin, hal itu tidak akan mudah jika tidak dengan belajar yang bersungguh-sungguh.
Saya beritahukan, bahwa belajar tidak selalu harus di kelas atau sekolah, belajar tidak selalu harus sesuai batas pelajaran (misalnya biologi, matematika, sosiologi dan seterusnya) dan belajar tidak selalu harus pada jam sekolah.

Kalian bisa belajar apapun, dimanapun, kapanpun sesuai dengan keinginan kalian!

Kembali pada KBM di kelas X MIA 1...
Biasanya setiap jawaban benar yang diajukan, akan langsung saya berikan poin pada absen. Awalnya hal ini saya lakukan untuk menarik perhatian dan memberi semangat pada para siswa agar berani mengajukan jawaban dan terlibat aktif pada KBM.

Tetapi, sampai datang pada suatu waktu...

Dengan banyaknya siswa yang ingin menjawab, saya lebih sering mengajukan pertanyaan, sehingga akhirnya saya sering tidak sempat memberi tanda poin pada absen siswa. Saya pikir hal ini tidak akan berdampak apa-apa, karena tujuan saya mengajar bukanlah memberikan poin sebanyak-banyaknya.
Ternyata, seorang siswa merasa keberatan dengan hal ini. Dia mulai berhenti mengajukan jawaban dan akhirnya ditengah-tengah keramaian kelas dia berkata,

“Ah, gak jadi jawab, ntar juga gak ditulis poinnya.”

[Saya tertegun dan kecewa sehingga setelahnya KBM saya lakukan dengan tidak bersemangat dan ingin segera mengakhirinya]

Dia memang termasuk siswa yang paling aktif mengajukan jawaban, memperhatikan penjelasan saya dengan baik dan mengerjakan setiap tugas dengan teliti, sehingga dia hampir selalu mendapat nilai tertinggi pada setiap tugas.

Saya menyukai setiap karakter siswa kelas X MIA 1, tetapi saya sangat berterimakasih kepada siswa tersebut. Dengan pengakuannya saya belajar, bahwa saya perlu menyampaikan terlebih dahulu tujuan dan karakteristis saya sebagai seorang guru, sebelum memulai KBM dengan para siswa.

Sehingga perlu saya sampaikan disini, agar siswa tersebut dan siswa X MIA 1 lainnya mengetahui.

Tujuan saya menjadi guru adalah agar anak-anak atau para siswa mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna, sehingga siswa dapat memahami dan mengetahui apa yang dapat ia lakukan dari ilmu yang telah ia pelajari. Bukan membantu siswa mendapatkan nilai tertinggi semata.

Karakteristik saya sebagai guru adalah saya memberikan kebebasan kepada siswa untuk melakukan apapun selama KBM (baik diluar maupun didalam kelas) dengan batasan (selama hal tersebut membantu siswa dalam memahami apa yang ia pelajari). Jadi saya berikan kebebasan yang terbatas, yaitu lakukan apa saja yang diperlukan untuk belajar!

Kembali pada siswa dalam cerita sebelumnya...

Setelah berkata demikian dan membuat saya kecewa. Siswa tersebut menyadari bahwa saya tidak setuju dengan apa yang ia katakan kepada saya. Segera setelah KBM usai, dia memberi salam dan berkata,

“Bu, maaf kalau saya punya salah.”

Sungguh, setelah mendengar kata-kata itu dan melihat wajahnya yang tulus, saya bersedih.

[Apa yang telah saya lakukan? Saya telah membuatnya kecewa lalu dialah yang telah meminta maaf terlebih dahulu? Guru macam apa saya ini?]

Sampai pada pertemuan terakhir, saya tidak sempat menyatakan kata perpisahan, ucapan terimakasih dan bahkan permintaan maaf kepadanya dan para siswa X MIA 1 selama kurang lebih satu setengah bulan ini.
Waktu itu memang saya dipanggil oleh dosen pembimbing PPL, yang tidak mungkin saya tolak, sehingga saya harus meninggalkan kelas sebelum waktunya.

Jadi, selamat berjumpa kembali para (mantan) siswa kelas X MIA 1 (kan kalian udah naik kelas?) ;)

Mohon maaf atas segala kesalahan yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Mohon maaf jika saya pernah membuat kalian tidak nyaman bahkan pernah menyakiti hati kalian. Semoga kalian bersedia memberi maaf dan semoga kita semua dirahmati Allah.

Jika diantara kalian ada yang merasa telah bersalah kepada saya, maka jangan khawatir, saya tidak merasa disakiti atau disusahkan oleh kalian. Bahkan saya ucapkan terimakasih atas pembelajaran berharga yang telah kalian berikan, sehingga Ibu dapat belajar dan terus memperbaiki diri agar menjadi guru yang lebih baik...

Jadi ini buat Agung, Ais, Chanif, Ananta, Arya, Chrisna, Dwi Satria, Dewi, Dian, Dwiky, Erin, Erra, Evita, Fahira, Fajar, Irma, Janisa, Jodi, Fatkhur, Nasir, Salsabila, Neny, Nicholas, Novi, Rifdah, A’yun, Rama, Redzky, Rheza, Risky, Rosarinda, Rouf, Toni, Try, Widi, dan Yulita.

Saya dan kalian semua..
We’ve made memories together! It’s not always good memories, but we had each other :).

Tulisan ini saya buat untuk memenuhi janji saya pribadi kepada kelas X MIA 1, setelah kejadian hari itu, seorang siswa bertanya,

“Bu, tadi kenapa? Kok gak semangat seperti biasanya? Siapa bu? Dia kan bu?”
Saya balas menjawab,
“Saya akan menceritakannya secara detail di blog saya, jadi tungguin aja ya :)!”


Ditulis selama 105 menit untuk pembelajaran  yang berharga, X MIA 1!
--by SN


Mengajar bukan hal yang mudah!


Mengajar dan menjadi guru bukan hanya pagi datang ke sekolah, masuk kelas sepanjang hari, pulang sekolah bermain/jalan-jalan sama temen, sampe rumah nonton tivi atau online social media, dan tidur tengah malam. Hidupnya guru gak seperti yang dibayangkan atau yang dilakukan para siswa. Bahkan, mungkin para siswa tidak pernah membayangkan betapa berat kehidupan para guru.

Kami (sebagai guru) harus mempersiapkan banyak hal. Mulai dari materi apa yang harus dipelajari siswa, pemilihan buku teks, bagaimana agar siswa tertarik belajar, tugas jenis apa yang membantu siswa lebih memahami materi dan lainnya. Selain itu, kami masih harus mengoreksi hasil pekerjaan siswa, menghitung dan memasukkan nilai, membuat penilaian sikap, membuat tinjauan materi, memikirkan apa yang harus dilakukan pada siswa yang kurang memahami materi bahkan juga memikirkan apa yang harus dilakukan pada siswa yang sudah menguasai materi, bagaimana agar para siswa bekerjasama dan saling membantu untuk memahami materi. Guru juga memikirkan perasaan setiap siswa saat di kelas, ada yang kurang bersemangat, ada yang memperhatikan dengan baik, bahkan ada yang terlalu bersemangat dengan bersuara keras.

Belum lagi kalau bapak/ibu guru yang sudah memiliki keluarga, mereka masih harus memikirkan keluarganya, bukan hanya para siswa.

Guru juga manusia yang tidak sempurna, memiliki kelebihan dalam suatu hal dan kekurangan dalam hal lain. Guru juga dapat membuat kesalahan didalam kelas, baik secara sengaja, maupun tidak sengaja. Jika kesalahan dilakukan secara sengaja, maka guru pun patut menadapat hukuman (hukuman bukan dari siswa, tetapi dari pihak yang berwenang seperti kepala sekolah bahkan kepolisian). Jika dilakukan secara tidak sengaja, sebaiknya memaklumi dengan kondisi dan lingkungan guru yang terkadang juga mengalami masalah, musibah dan hal lain yang mungkin belum terbayangkan oleh siswa.


Selasa, 19 Mei 2015

ME

ME : fokus pada kekuatan, jangan sibuk dengan kelemahan
Copyright © @BriliAgung dan @DodiRustandi
2015. Jakarta: QultumMedia

Sungguh buku yang jauh melebihi ekspektasi saya pribadi. Saya mendapat buku ini secara gratis (dari promo di sebuah toko buku, beli dua gratis satu). Buku gratis dapat dipilih hanya dari beberapa buku (terbatas), lalu saya memilih buku ini karena tertarik dari judul dan tampilannya. Selain itu saya membatin, "Buku ini agar dibaca muridku yang masih remaja."

Sebelum meminjamkan buku-buku, saya selalu menyortir buku-buku dan membacanya sampai tuntas, apakah layak dipinjamkan secara bebas atau terbatas.

Begitu melihat buku ini, salah satu murid saya tertarik untuk meminjam dan membacanya, tetapi saya menundanya untuk menyampulinya terlebih dahulu.

Setelah menyampulinya, saya membacanya sampai akhir dengan sangat tertarik pada setiap lembarnya. Hal ini tidak saya bayangkan sebelumnya, karena saya pikir buku dengan judul seperti ini hanya akan menarik perhatian remaja. Tidak!

Buku ini berisi tetang mengenali potensi diri dan orang lain. Siapa orang yang paling cocok untuk berteman dan menjadi pasangan kita. Bagaimana cara menghadapi orang lain dengan setiap kepribadiannya. Juga dibahas secara khusus bagaimana cara belajar yang paling cocok buat kamu, membimbingmu menentukan cita-cita dan pekerjaan sesuai potensi dirimu bahkan ada juga cara bagaimana cara meyakinkan orang tuamu tentang cita-cita dan mimpimu yang hampir tidak disetujui orang tua.

Buku ini menggunakan bahasa yang ringan dan gaul ala anak muda/remaja. Ulasannya sangat bersemangat dan mudah dipahami. Buku ini menjadi sangat baik karena ditulis berdasarkan penetilian selama 10 tahun oleh salah satu penulisnya.

Sehingga, buku ini sangat cocok bagi para remaja yang penasaran sama siapa dirinya sebenarnya. Namun saya juga sangat merekomendasikan buku bagi orang-orang yang ingin meneguhkan kembali siapa dirinya sebenarnya dan mencari solusi bagaimana menghadapi orang lain dengan masing-masing pribadinya.

Minggu, 18 Januari 2015

90 vs 30


“Seorang guru kecewa terhadap siswanya yang mendapat nilai 90 tetapi bangga terhadap siswa lainnya yang hanya mendapatkan nilai 30.”

Apa yang sebenarnya terjadi?
                
Saya sebagai mahasiswa jurusan pendidikan harus menempuh PPL di sekolah. Kegiatannya berupa praktik menjadi guru dalam waktu 1,5 bulan. Mulai 9 Januari, saya sudah mengikuti kegiatan sekolah, kemudian diberikan tanggung jawab mengajar 2 kelas X dan membantu mengajar 2 kelas Lintas Minat.

Jumat, 16 Januari 2015 saya membantu mengajar kelas Lintas Minat (LM) Biologi yang berisikan 8 siswa kelas X IIS (IPS). Seorang diantaranya berasal dari Papua, namanya Raimundus. Raimundus mendapatkan beasiswa untuk sekolah di Jawa dengan 4 teman lainnya (yang semuanya laki-laki).
Hari itu saya mendampingi Ibu Y mengajar di kelas LM Biologi pada BAB Jamur. Awalnya siswa disuruh untuk mengisi tabel peranan jamur bagi kehidupan sesuai dengan buku paket. Kemudian untuk evaluasi BAB Jamur, Ibu Y menginstruksikan siswa untuk mengerjakan soal pilihan ganda yang ada di buku paket, siswa menyalin pertanyaan dan jawabannya di buku tulis masing-masing. Ketika siswa lain mulai menyalin soal nomer 1, seorang siswa bernama R menemukan kunci jawaban soal-soal di bagian akhir buku (memang bagian dari buku paketnya, yang menyediakan kunci jawaban). Sehingga kelompok siswa tersebut langsung gaduh dan berpandangan tersenyum ‘ingin curang’. Ibu Y mengetahui hal ini, kemudian berkata, “Kalau kalian melihat kunci jawaban, nanti saya suruh mengerjakan soal uraian lo!”.

Dari 8 siswa, 2 diantaranya melihat kunci jawaban dan menyebarkannya ke seluruh siswa, beberapa kali siswa dengan terang-terangan menyontek temannya dan ketahuan akan membuka kunci jawaban. Tetapi tidak ada tindakan. Namun, satu hal yang membuat saya tertarik, Raimun. Raimun terlihat berusaha keras menyalin tulisan dan menjawab soal tersebut dengan jujur. Ketika waktu sudah habis, ke-7 siswa mengumpulkan bukunya dengan santai, tetapi tidak dengan Raimun. Raimun terlihat kebingungan, mungkin seperti berkata, “Aduh, bagaimana ini, menulis soalnya saja belum selesai, jawaban juga ada yang belum.” Tetapi kemudian Raimun tetap mengumpulkan bukunya.

Ketika melihat betapa bersusah payahnya Raimun, dalam hati saya berkata, “Oh Raimundus, mungkin kamu akan lebih bahagia dan lebih berguna di tempat asalmu. Jika kamu masih tetap disana, mungkin saja sekarang kamu sudah mahir memancing ikan, memanjat pohon tertinggi, menyelami lautan indah Papua, berburu hewan liar untuk dimakan dan memiliki banyak keterampilan lahiriah khas Papua. Oh Raimundus, betapa malang dirimu disini. Mungkin saja awalnya kamu senang bukan kepalang saat mengetahui kamu mendapat beasiswa dan akan naik pesawat terbang ke Jawa ‘Pulau Impianmu. Tetapi setelah mengikuti sekolah disini, kamu terlihat paling berbeda, paling diperhatikan dan paling ‘kurang’. Mungkin kadang kamu masih tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan gurumu di depan kelas, kamu juga tidak mengerti mengapa sekolah disini pekerjaannya hanya menulis dan lebih banyak menulis (baca: menyalin). Lalu, mungkin saja kamu merindukan rumah, teman dan keluargamu. Oh, Raimundus yang malang, hati Ibu tersayat melihatmu seperti ini.”

Sabtu, 17 Januari 2015, saya mengoreksi pekerjaan 8 siswa LM yang dikumpulkan hari Jumat kemarin. Ke-7 orang mendapatkan nilai 90, tetapi saya beri emoticon sedih dengan tulisan “hope you try to be honest!”. Artinya walaupun nilai mereka 90, tetapi saya tahu bahwa mereka curang (melihat kunci jawaban) dan berharap agar mereka mencoba untuk jujur (coba jujur dulu dan seterusnya jujur). Kemudian sampailah pada buku milik Raimundus. Bukunya bertuliskan nama dan kelasnya, tetapi dengan tulisan “buku Bahasa Indonesia”, terlihat catatan-catatan pelajaran bahasa Indonesiapada lembar awal, pada lembar-lembar akhir ada catatan pelajaran Sosiologi dan pada bagian tengah buku ada hasil pekerjaannya Ujian BAB Jamur. Tulisannya memang tidak begitu rapi, soal berhenti pada nomer 7 dan jawaban berhenti pada nomer 5. 3 jawaban benar, 2 jawaban salah dan sisanya kosong. Kenyataannya adalah Raimundus mendapatkan nilai 30, karena berhasil menjawab 3 soal dengan benar dari 10 soal. Tetapi kemudian saya beri tulisan “30+honesty+hard work=100, congratulation Raimundus, I Appreciate your hardwork and thank you for being honest!”.

      “Betapa berharganya kerja keras yang jujur sehingga tidak ternilai”

Doa Ibu Sofiya untuk Raimundus dan siswa lainnya yang serupa (senasib) dengannya di seluruh dunia,


“Semoga anak-anak seperti kalian bertemu dengan orang yang tepat dan menemukan jalan kesuksesan kalian dalam menjadi insan yang menjadi dan menjadikan masyarakat yang baik, sehingga kehidupan menjadi baik. Amin”

Senin, 05 Januari 2015

How Children Learn by John Holt (1964)



Holt, John. 1964. How Children Learn. New York: Pitman Publishing Company
Holt, John. 2012. Bagaimana Siswa Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga

Kisah berikut diambil dari buku How Children Learn pada halaman 271-277.

Kisah berikutnya adalah tentang sebuah kelas di sekolah pedesaan yang diajar oleh Julia Weber (sekarang berubah menjadi Julia Gordon).

Anak-anak yang sekolah disana berada pada kelas 1 sampai kelas 8. Seringkali, jika diperlukan, mereka bekerja dengan mandiri. Disaat-saat yang lain, mereka mendiskusikan banyak hal dalam satu kelas. Dalam diskusi semacam ini banyak pertanyaan bermunculan, dan merupakan kebiasaan Bu Weber untuk mencatat pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab ke dalam sebuah lambar besar dan menempelkannya di tembok, di mana semua anak dalap melihatnya dan selalu mengingatnya. Anak-anak tidak diharuskan mencari jawabnnya; pertanyaan-pertanyaan ini bukan bagian dari kurikulum atau pekerjaan rumah. Namun anak-anak dibebaskan mengikuti semua hal yang memang menarik perhatian mereka. Beberapa pertanyaan itu bahkan tak pernah terjawab. Sementara beberapa yang lain telah berhasil menangkap keingintahuan anak-anak dan membawa mereka ke eksplorasi yang lebih luas lagi.
Pertanyaan yang memancing keingintahuan itu salah satunya datang pada awal musim semi, di saat anak-anak bersiap menanggalkan baju musim dingin mereka. Baju-baju musim dingin itu harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum disimpan, dan seseorang bertanya mengapa baju-baju itu tidak bisa dicuci saja. Banyak diantara mereka tahu bahwa kalau baju dari bahan wol itu dicuci maka baju itu akan menyusut. Lalu kenapa eol itu bisa menyusut, dan kalau wol itu menyusut lalu apa yang terjadi? Tidak ada yang tahu jawabannya. Mungkin mereka bisa menemukan jawabannya jika mereka melihat bahan wol itu dengan bantuan mikroskop. Sayangnya, mereka tidak memiliki mikroskop dan pastinya tidak mampu membelinya. Baiklah, kalau begitu mereka akan meminjamnya. Mereka kemudian menulis sebuah surat –saya rasa surat itu dilayangkan ke sebuah universitas negri—menayangkan apakah mereka bisa meminjam sebuah mikroskop dan menjelaskan alasan mereka meminjamnua. Kebetulan anak-anak ini memang terbiasa menulis surat semacam ini, mereka bahkan menulisnya hampir setiap saat, oleh karena sekolah mereka ynga kecil tidak memungkinkan mereka membeli segala sesuatu.
Disinilah menurut saya, jawaan atas sebuah takhayul yang begitu berkembang saat ini, yang dibuat dengan gaya oleh Dr. Conant dan kawan-kawan, bahwa kita harus memiliki sebuah pabrik sekolah raksasan karena kita tidak akan bisa memperoleh pendidikan yang baik  di sekolah jikalau kita tidak didukung oleh peralatan paling mutakhir. Saat kita berupaya membuat sekolah menjadi lebih besar, kita justru semakin kehilangan nilai-nilai yang kita peroleh sebelumnya dan betapa kecilnya nilai yang kita peroleh jika kita betul-betul memiliki semua peralatan sedemikian mahal ini, padahal kita bisa meraihnya dengan cara yang lain. Seharusnya terdapat, sebagaimana yang terjadi di beberapa negara bagian, sebuah perpustakaan pusat dimana semua buku dan peralatan bisa dipinjam, atau perpustakaan dan laboratorium keliling yang dapat mengunjungi sekolah-sekolah secara bergantian. Suatu hari nanti, jika kita mengatasi gagasan kita bahwa kebesaran dunia pendidikan itu berarti efisiensi dan kualitas, maka kita bisa menghidupkan lagi beberapa dari ide-ide tersebut.
Selanjutnya, mikroskop itu akhirnya tiba –anak-anak sendiri memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan selagi mereka menunggu kedatangannya. Kegembiraan begitu meluap-luap saat mereka dengan sangat berhati-hati membuka bungkusnya dan membaca instruksi penggunaannya dan mulai belajar memakainya. Tak berapa lama, mereka sudah siap meneliti beberapa serat wol sebelum dan sesudah serat wol itu dicuci. Mereka menemukan bahwa serat wol itu memiliki sambungan, mirip-mirp teleskop, dan untuk beberapa sebab, sambungan ini bergerak saat wol itu dicuci. Kemudian setelah meneliti wol, mereka memutuskan meneliti beberapa jenis kain lainnya menggunakan mikroskop –seperti linen, katun, dan rayon. Mereka kemudian menyadari perbedaan tampilan dari tiap-tiap kain –juga menyadari bahwa tampilan setiap kain itu ditentukan oleh bagaimana kain itu ditenun. Hal ini kemudian membuat mereka tertarik dengan aktivitas menenun, dan setelah beberapa kali membuka forum diskusi, mereka pun sepakat membuat kain sendiri dengan cara menenun menggunakan peralatan paling sederhana. Kemudian banyak surat dilayangkan dan setelah beberapa saat mereka berhasil memperoleh pelbagai hal yang dibutuhkan untuk memintal dan menenunkain, dan ini dimulai dari wol yang masih mentah. Mereka memilih wol karena wol lebih mudah diolah sekalipun menggunakan peralatan sederhana. Mereka memperoleh wol mentah dari seorang tetangga yang memiliki domba; kemudian wol mentah itu merek cuci, pilah-pilah, pintal, dan tenun. Seorang anak di kelas kemudian tertarik mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat sebuah oakaian. Mereka pun memutuskan membuat catatan tentang waktu yang dipakai saat proyek ini berlangsung dan akhirnya mengembangkan atau menemukan ide man-hour (yaitu jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pekerja rata-rata dalam satu jam) sebagai sebuah unit kerja –sebuah konsep yang amat penting dalam ekonomi.
Saat selesai menenun secarik kain berbentuk bujur sangkar, catatan mereka menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut dibutuhkan 72 man-hour. Tujuh puluhdua jam hanya untuk kain sekecil ini! Lalu berapa lama waktu yang diperlukan untuk membuat sebuah pakaian yang utuh? Pertanyaan ini banyak terkait dengan aritmatika, ditambah menghitung luas sebuag objek yang bentuknya tidak biasa. Saat mereka menemukan berapa lama waktu yang dihabiskan untuk membuat sebuah pakaian utuh, berdasarkan perhitungan mereka, mereka mulai berpikir tentang bagaimana orang-orang pada masa kolonialisasi bisa mengatur waktu mereka untuk membuat pakaian mereka sendiri. Mereka juga akhirnya bisa melihat betapa besar pentingnya buruh yang memiliki spesialisasi kerja, serta untuk mendukung metode menghemat waktu dan energi.
Proyek membuat pakaian ini telah membawa anak-anak k berbagai arah yang berbeda. Satu hal yang pasti, mereka jadi ingin memberi warna pada pakaian; mereka mencari tahu tentang pewarna pakaian dari bahan alami, bagaimana pewarna ini dibuat, dan bagaimana menggunakannya. Oleh karena semua pewarna alami ini berasaldari tumbuh-tumbuhan, mereka pun dibawa ke pelajaran tentang botani. Mereka membuat beberapa jenis pewarna dan mengujinya. Mereka juga tertarik dengan kain berbahan dasar wol yang lain. Kain sederhana yang telah mereka buat tidak seperti pakaian wol yang sering mereka lihat dan pakai. Apa yang menyebabakan perbedaan itu? Ada berapa jenis wol di luar sana? Anak-anak kemudian bertanya kepada setiap orang yang memakai pakaian wol yang mereka jumpai tentang bahan wol macam apa yang mereka kenakan. Mereka akhirnya menemukan bahwa wol terdiri atas berbagai jenis. Salah seorang kemudian mencatat, di sebuah peta, jenis-jenis hewan yang menghasilkan bahan wol dan di belahan dunia mana hewan-hewan berada. Hal ini kemudian memancing keingintahuan mereka dan kemudian membuat mereka berdiskusi tentang mengapa harga beberapa wol lebih mahal daripada yang lain. Setelah perbincangan demi perbincangan dan membaca banyak tentangnya, mereka memutuskan bahwa faktor harga ditentukan oleh hewan penghasil wol itu sendiri, seberapa sulit hewan tersebut diternakkan dan dijaga, seberapa banyak wol yang dapat dihasilkan hewan itu, juga berkaitan dengan tingkat kesulitan dalam mengubah wol menjadi sebentuk kain, seberapa jauh kain wol ini harus didistribusikan, dan seterusnya. Ilmu ekonomi yang lebih nyata dan beberapa pelajaran geografi tersempil di dalamnya.
Pada saat yang sama, mereka kemudian menaruh perhatian akan perbedaan (yang saya sendiri juga tidak tahu) antara woolens (kain yang dibuat dengan wol atau wol yang dicampur dengan bahan wol buatan/artifisial) dan worsted (sejenis wol yang biasa dipakai untuk membuat jaket dan celanan), dan proses penemuan, serta industrinya. Mereka menemukan bahwa mesin yang berkualitas dapat menekan harga kain wol. Lalu siapakah yang menemukan mesin tersebut? Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tersebut, mereka harus memesan buku dari perpustakaan negara bagian. Dr. Gordon bercerita kepada saya bahwa dalam satu tahun sebuah kelas berisi tigapuluhlima orang siswa meminjam tujuh ratus buah buku. Mereka kemudian menemukan bahwa banyak dari mesin-mesin awal ditemukan di Inggris. Lalu mengapa disana? Sebagian karena di Inggris sudah terdapat pembagian kerja tertentu, sehingga siap menjalankan bentuk organisasi seperti pabrik. Lalu seperti apakah bentuk pabrik-pabrik itu? Anak-anak ini kemudian mengunjungi sebuah pabrik tekstil di New Jersey, membaca tentang pabrik-pabrik yang dibangun sebelumnya, dan kondisi para buruh, berbicara tentang pengaruh mesin terhadap penggunaan tenaga kerja, meneliti efek-efek yang ditimbulkan mesin pabrik terhadap lingkungan sekitar, mulai memikirkan serikat buruh, dan hukum-hukum perburuhan. Dan seterusnya.
Bukan hanya hal-hal ini saja yang anak-anak ini tersebut lakukan. Saat menyelami pertanyaan tersebut, mereka juga menyelami banyak hal lainnya. Memang tidak semua anak melakukan hal-hal semacam ini. Penelitian perdana, misalnya, hanya dilakukan sekelompok anak. Meski demikian, mereka tetap melaporkan hasil penelitian mereka ke semua siswa di dalam kelas, sehingga hampir semua penemuan yang mereka hasilkan diketahui dan dibagikan kepada semua anak.
Kisah-kisah semacam ini memperlihatkan kepada kita tentang berbagai cara anak-anak belajar. Mereka melihat dunia secara keseluruhan, sekalipun mungkin terlihat misterius. Mereka tidak membagi dunia ke dalam bentuk kategori-kategori  kecil yang kaku, sebagaimana orang dewasa sering lakukan. Biasa bagi mereka melompat dari satu hal ke hal yang lain dan kemudian membuat hubungan di antara hal-hal tersebut, sesuatu yang jarang ditemui pada kelas-kelas formal dan buku-buku cetak. Mereka merintis  jalan mereka sendiri menuju suatu hal yang tidak mereka ketahui, sebuah jalan yang kita sendiri pun tak terpikir untuk membuatnya.

Sebentar...
Bagaimana perasaan Anda sekarang?
Apakah selama membaca dada Anda sesak? Terharu? Mulai berpikir ‘kita juga bisa melakukan hal ini’?

Lalu muncullah pertanyaan besar,

“Apa yang harus kita semua lakukan, saat di satu pihak memiliki ide dan inovasi yang sudah siap diuji coba atau bahkan sudah siap digunakan untuk perubahan, tetapi di pihak lain tidak/belum menyadari adanya tuntutan perubahan?”

Saya tidak memiliki jawabannya, tetapi Anda memiliki pemikiran, ide dan inovasi yang dapat menjawab pertanyaan tersebut.