Jumat, 07 November 2014

Hanya saja apatis sama sekali tidak membantu

Jumat, 7 November 2014

Hari ini salah satu muridku, Venus (Kelas 4 SD) tidak bersemangat, katanya karena belum menyiapkan baju sekolahnya buat besok.

Ah.. betapa orang tuanya bagus sekali dalam mendidik.

Selain itu, saya mengkhawatirkan beberapa hal.

Beberapa minggu terakhir, suhu di Malang begitu panas. Muridku yang bersemangat, berjubel memenuhi ruangan. Aku jadi tidak sabar dan hal ini membuatku sedih.

Tetap dengan penemuan merobek hati, setiap hari saya menemui siswa yang dibuat susah dan tidak mengerti arti dari “mengapa saya harus mengerjakan PR? Mengapa saya harus belajar?”

Austin (Kelas 2 SD) yang selalu mengeluh capek dan cepat-cepat ingin ‘istirahat’ dari mengerjakan PR. Saya mengizinkan murid-murid untuk istirahat dari belajarnya, barang 5 sampai 10 menit untuk bermain atau jajan. Baru mengerjakan 5 soal, sudah tanya kapan ‘istirahat’. Baru mengerjakan 1 dari 10 halaman sudah mengeluh capek, karena baru saja les Bahasa Inggris. –miris didalam hati, melihat anak-anak dipaksa belajar dengan waktu yang lama, tanpa mau berpikir cara belajar yang efektif.

Mereka pikir semakin banyak soalnya yang dikerjakan, semakin sering belajar dan semakin panjang waktu belajar, maka anak akan pandai.

Ah... betapa semua ini begitu tidak berarti jika tidak bisa memaknai.

Vanesa (Kelas 4 SD), baru saja masuk les hari Rabu lalu, yang saya tau, kemampuan matematikanya masih seperti anak kelas 2 SD. Lebih sering ngarang dan asal-asalan saat saya tanya secara lisan, seperti;

Saya : “ 6 : 2 berapa?”
Vanesa : “Satu!”, dengan spontan.

Lalu saya menunjukkan raut muka yang tidak setuju. Lalu seketika Vanesa memutar bola matanya keatas, menunjukkan wajah berpikir –walaupun kadang saya tidak yakin bahwa dia benar-benar berpikir.

Saya rasa kelemahannya ada pada pembagian dan perkalian. Jika ini dibiarkan, maka Vanesa tidak akan belajar banyak pada tahap selanjutnya.

Dengan waktu dan tempat terbatas, saya memandu para murid memahami apa yang mereka kerjakan. Sayangnya, akhir-akhir ini saya cenderung mendikte jawaban dari pertanyaan PR mereka yang berlembar-lembar. Hampir setiap hari, para murid mendapat PR berlembar-lembar, tanpa mendapat penjelasan dari guru terlebih dahulu. Lebih parahnya lagi, PR yang sudah mereka kerjakan dengan susah payah dan dibawah tekanan, tidak dikoreksi atau tidak dibahas dikelas sesuai janji guru. Ada juga yang hanya melihat apa sudah penuh dikerjakan atau belum, jika sudah penuh tidak dikoreksi dan jika masih kosong dicoret dengan tinta merah, kemudian ditulis poin-poin yang tidak bisa dimengerti maskudnya.

Saya seperti pada titik puncak kesabaran saya dengan kelakuan pendidik mereka di sekolah. Sayangnya dengan hal itu, saya melimpahkan kekesalan saya terhadap murid-murid. Ah, saya begitu sedih :’(.

Saya tidak bisa menyalahkan pendidik mereka secara mentah. Bisa saja pendidik itu mengalami problema yang tidak saya alami, yang tidak saya tahu. Mungkinkah mereka kekurangan waktu maupun kesejahteraan sehingga terkesan melepas tanggung jawab dengan memberi Pekerjaan Rumah sebanyak-banyaknya tanpa memandu siswa memahami apa yang harus mereka pahami.

Hanya saja...

Apatis adalah musuh terbesar perubahan!
#speechless

Tidak ada komentar:

Posting Komentar